Liliefors 2021
Tanggal Posting (26-09-2021) Afifah Az-Zahra
Photo by: Fiska Alfiyya N.
Pada Sabtu (11/09) lalu, UKM Media Kampus Politeknik Statistika STIS sukses menggelar salah satu acara terbesarnya, Liliefors 2021. Meski absen pada tahun 2020 akibat masih amat terbatasnya ruang gerak dan adaptasi semasa dilanda badai pandemi, juga beradu dalam suasana virtual untuk pertama kalinya, perhelatan Klinik Penulisan, Desain Grafis, dan Fotografi Polstat STIS ini tetap berlangsung meriah melalui Zoom Meeting dan siaran langsung di kanal Media Kampus.
Runtunan kegiatan dimulai dengan sambutan dari Ketua Pelaksana Liliefors 2021, Daffa Fadhilah Hidayat. Dalam penyampaiannya, Daffa menyebutkan awal mula terbitnya ide Liliefors tahun ini adalah keresahan akan menjamurnya talenta yang sedianya gemilang, tetapi masih redup akibat kurangnya kepercayaan diri dan hal senada lain. Selanjutnya, sambutan kedua dibawakan oleh Pembina UKM Media Kampus, Siskarossa Ika Oktora. Sambil diiringi senyum dan sedikit renyah tawa yang hangat, beliau menuturkan bahwa terbatasnya ruang gerak bukan menjadi penghalang untuk meng-upgrade skill maupun mengasah otak kanan, utamanya bagi peserta yang kesehariannya berkutat dengan aktivitas otak kiri seperti belajar statistika.
Sementara itu, Dr. Hardius Usman selaku Wakil Direktur III Politeknik Statistika STIS juga turut memberikan sambutan. Beliau mengaku iri karena pada masanya, kegiatan semacam ini belum diadakan. “Acara seperti ini sangat penting untuk mengimbangi kapasitas otak kiri dan kanan, yang nantinya akan sangat menunjang kemampuan saat bekerja. Saya berpesan kepada seluruh hadirin bahwa malu terhadap hobi positif yang kita miliki adalah sebuah kesalahan, jadi ya ekspresikan saja. Juga, saya mengucapkan selamat kepada panitia yang telah menyelenggarakan acara ini walau dihalau keterbatasan akibat pandemi,” tambahnya.
Photo by: Fiska Alfiyya N.
Tak lama berselang, acara inti dengan tema “Be Confident and Impatc Others” yang telah ditunggu-tunggu pun tiba. Pranatacara Sherina Rafidah K. dan M. Naufal Faishal menjelaskan secara singkat bahwa gelar wicara (talkshow) bersama empat pembicara hebat akan dibagi ke dalam dua sesi dan dilanjutkan dengan pengumuman para pemenang Liliefors Competition 2021. Keduanya lalu memperkenalkan moderator sesi pertama, Lutfi Hamdani S.
Bertajuk “Ciptakan Karya, Tebarkan Kebermanfaatan”, Lutfi dengan luwes memandu jalannya sesi pertama bersama Alvi Syahrin dari Klinik Penulisan dan Nazhif Ubaidillah dari Klinik Videografi. Sebagai informasi, Alvi Syahrin adalah penulis Insecurity is My Middle Name yang baru saja terbit juga serial Jika Kita Tak Pernah yang sangat digemari kawula muda. Sementara itu, Nazhif Ubaidillah ialah content creator seputar videografi di platform TikTok yang juga tengah berkuliah di Universitas Brawijaya.
Lutfi mengawali rangkaian pertanyaan dengan, “Kenapa harus berkarya dan kenapa harus bermanfaat?” Hobi dan ingin menjadi seperti para idolanya menjadi jawaban versi Nazhif. Di samping itu, sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat, dan kebermanfaatan itu akan kembali kepada diri sendiri. Sedikit berbeda dengan Nazhif, Alvi berpendapat berkarya bukan menjadi keharusan, tetapi seseorang akan menjadi lebih baik jika berkarya. Yang terpenting adalah melakukan yang terbaik dari apa yang bisa dilakukan.
Pertanyaan-pertanyaan lain kemudian bergulir cepat. Dalam rentang waktu itu, Nazhif mengungkapkan bahwa tujuan akhirnya atas menciptakan karya adalah agar bisa lebih banyak sharing dengan orang lain. Video saat ini adalah media yang lebih mudah diterima, juga semakin banyak platform yang mendukung format video menjadikan videografi sebagai bidang yang ia tekuni. Sementara itu, Alvi berujar bahwa menulis sudah menjadi skill yang berusaha dia tekuni karena bisa dilakukan dari rumah. Namun, saat ini menulis saja tidak cukup sehingga shifting menuju kemampuan lain seperti videografi adalah jalan supaya karyanya tetap bisa diserap dan diterima dalam lekang masa. “Kita semua bisa melakukannya (mengembangkan skill baru),” yakin Alvi.
Saat ditanyai perihal kiat untuk pemula, Alvi dan Nazhif sepakat bahwa langkah awal adalah memulai, tidak peduli sejelek apa pun karya tersebut. Seiring berjalannya waktu, gaya yang pas dan nyaman bagi kita akan muncul. Tak hanya itu, penting juga untuk menetapkan target. Target besar bagi pemula tentu sah-sah saja, tetapi perlu banyak target kecil yang harus dilaksanakan terlebih dahulu. Target kecil ini merupakan suatu tantangan yang doable dan realistis, misalnya sesederhana menulis setiap hari atau konsisten mengunggah video pendek setiap dua hari. Nazhif sendiri mengaku bahwa konsisten mengunggah konten mendorong dirinya untuk terus membuat video yang lebih baik dan bermanfaat.
Mengenai personal branding sendiri yang tak lain adalah esensi di balik tema Liliefors 2021, Alvi menegaskan, “Berbeda itu nggak didapat dari sekali percobaan, perlu banyak inovasi dari banyak referensi.” Tak banyak berbeda, Nazhif juga mengutarakan ciri khas didapat dari learning by doing yang berulang dan kontinu. Dari proses itu jugalah Nazhif membangun personal branding. “Jadi siapa yang mau belajar fotografi atau videografi, ya ingatnya Nazhifu,” jelasnya. Menyambung Nazhif, Alvi menekankan langkah pertama personal branding masa kini tentunya adalah mengunggah karya ke media sosial. Pun jika karya tersebut tidak ditemukan, semua akan menjadi portofolio yang sangat bermanfaat. Serta, selalu ada pasar untuk segalanya. Kuncinya adalah apa yang kita sajikan harus menjawab masalah publik karena kebermanfaatan dari sesuatu adalah hal yang akan selalu dibutuhkan manusia. Sesi pertama kemudian ditutup dengan sesi tanya jawab interaktif dan penyerahan sertifikat kepada kedua pembicara.
Photo by: Fiska Alfiyya N.
Gelar wicara kembali berlanjut ke sesi kedua setelah terjeda ishoma. Kali ini, Sherina dan Faishal memperkenalkan Yuniar Putri A. R. Fresh graduate Polstat STIS ini yang akan memoderatori jalannya sesi kedua bersama Enrico Jonathan, Creative Lead dari Kok Bisa? dan Ingga Suwandana, fotografer profesional yang telah lama melanglangbuana di media sosial Instagram, yang masing-masing menjadi pembicara dari Klinik Desain Grafis dan Klinik Videografi.
Berbalut topik “Aku, Karyaku, dan Kemauanku”, Yuniar bertanya bagaimana awal mula kedua orang hebat ini menemukan bidang yang sesuai. Enrico dengan jujur menceritakan bahwa meski gemar menggambar sedari kecil hingga akhirnya masuk ke jurusan DKV, ia kaget melihat gambarnya paling jelek di antara teman yang lain. Sempat pindah halauan ke fotografi sampai videografi, Enrico pun mulai belajar animasi sekadar untuk mendukung karya videonya. Namun akhirnya, ia justru mendalami animasi dan fokus ke motion graphic sampai sekarang. Sementara Ingga sendiri merasa cukup terlambat menemukan fotografi dalam kehidupannya, yakni dimulai ketika sedang menjalani studi S-2 di Jogjakarta. Banyak yang memuji hasil fotonya bagus membuat Ingga ingin belajar lebih banyak lalu pindah ke Lombok untuk terus bereksplorasi. Pada akhirnya, ia memutuskan keluar dari pekerjaan kantoran dan secara penuh bekerja di dunia digital dan visual sebagai fotografer profesional.
Mengenai perasaan insecure atas karya yang dirasa tidak layak, Enrico mengungkap sambil tertawa bahwa dirinya adalah pribadi yang narsis, tetapi pemalu. Saat mengawali karier di YouTube, meski pada masa itu youtuber adalah profesi yang terlihat keren, ia malu dengan keluarga sewaaktu proses pembuatannya. Dahulu pun, ia tetap merasa karyanya bagus. “Kalau sekarang lihat karya lama tuh menjijikkan banget, tapi itu bukan sesuatu yang buruk, ya. Malah jadi nostalgia dan merasa bahwa karyaku udah berkembang,” paparnya.
Jauh berbeda dengan Enrico yang percaya diri menyebut karya-karya pertamanya bagus, Ingga mengaku gila-gilaan mengumpulkan kepercayaan diri dirinya di masa lalu. “Sampai-sampai nggak percaya, kok ada orang yang mau beli foto saya, kekeuh mau saya yang ambil fotonya,” tutur Ingga. Ia pelan-pelan berhasil menerima pujian sekitar dan meyakinkan diri sendiri bahwa dirinya bisa dan jago. “Jadi, ya, pede aja dulu. Selera orang urusan nanti, yang penting kita berkarya dulu, deh.” Ingga menambahkan.
Kembali menyoal personal branding¸ menurut Enrico hal itu punya arti luas, bukan sekadar untuk menggaet followers dan uang semata. Dengan personal branding yang sukses, orang lain bisa melihat apa yang kita sukai, membuat kita lebih mudah mengobrol dengan orang lain. Dari sanalah ia bisa bertemu klien dan partner, sehingga personal branding adalah pembuka banyak pintu kesuksesan yang lain versi Enrico. Senada dengan Enrico, Ingga menyebut personal branding-lah yang menunjukkan identitas kita di khalayak ramai. Hal ini penting sekali, terutama di dunia visual yang selalu terlihat. Dalam membangunnya, Ingga berujar gampang-gampang susah. Tetapi apa pun itu, pembangunan personal branding adalah perkara proses yang harus dinikmati.
Terakhir mengenai managemen konten. Ingga berkata bahwa konsisten adalah kuncinya. “Kalau nggak konsisten, kita akan ditinggalkan.” Namun bukan hanya konsisten, engage dengan penikmat konten seperti membalas komentar dan pesan masuk juga sangat penting. Sementara itu, Enrico menambahkan bahwa observasi dan menggali insight menjadi sebuah keperluan. Juga ketika ternyata di dalam konten yang diunggah ada kesalahan, harus diakui dan dilanjutkan dengan memperbaiki kesalahan itu.
Sesi kedua pun akhirnya usai setelah berlangsungnya sesi tanya-jawab dan penyerahan sertifikat. Dalam closing statement-nya, Enrico berpesan. “Jangan sampai burnout. Kalay lagi semangat (berkarya), coba belajar simpan semangatnya untuk tabungan yang bisa dipakai ketika lagi nggak semangat.”
Penghujung acara Liliefors 2021 diisi dengan pengumuman ke-12 pemenang Liliefors Competition 2021, terdiri dari satu juara favorit dan tiga karya terbaik dari empat cabang perlombaan. Tak lupa, Sherina dan Faishal ikut mengumumkan para pemenang kompetisi Instastory kreatif selama berlangsungnya gelar wicara sebelumnya. Dengan penuh senyuman puas, kedua pranatacara berterima kasih kepada seluruh panitia dan peserta Liliefors 2021.
Sampai jumpa di Liliefors 2022, Sobat Liliefors!